Niat itu Ada

Pertengahan tahun 2017 saya mendapat kesempatan belajar di Belanda, tepatnya jurusan Development and Rural Innovation di Wageningen University. Sesekali saya merenung dan berefleksi. Ini adalah sebuah titik pencapaian sekaligus awal dari sebuah perjalanan baru.

Campus Wageningen UR
Wageningen University, The Netherlands (source: wur.nl)

Sejak SMA saya bercita-cita menjadi duta besar. Tak disangka 10 tahun kemudian akhirnya sebentar lagi saya tiba di Belanda, meski bukan sebagai duta besar, melainkan sebagai mahasiswa baru. Belanda menjadi negara tujuan studi saya. Negara yang sangat lekat dengan Indonesia secara historis. Tentu akan ada suasana baru dan negara ini mungkin akan terasa seperti “rumah”.

Awal kuliah di tahun 2009 di Universitas Mercu Buana Yogyakarta, saya cukup antusias dengan kegiatan organisasi dan diskusi. Kalau bahasa kerennya highly motivated. Saat belajar di jurusan Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, ada sebuah mata kuliah di semester 3 yang berjudul “Pembelajaran hidup efektif”. Firasat saya mata kuliah ini adalah mata kuliah motivasi atau kepemimpinan biasa, dengan kata-kata manis para penulisnya. Di awal pembelajaran firasat itu benar, bahkan kuliah ini intinya adalah membaca sebuah buku. Dosen yang waktu itu juga merangkap sebagai Wakil Rektor bidang Akademik hanya memberikan sebuah buku kepada masing-masing kami untuk dibaca dan dipresentasikan isinya pada ujian akhir nanti. Bayangkan betapa mudahnya mata kuliah ini. Saya pikir mendapatkan nilai A cukup mudah dengan hanya menyiapkan presentasi isi buku yang menarik, kreatif, dan enak dipandang.

Saya mendapatkan sebuah buku motivasi yang isinya tidak begitu tebal. Pada waktu itu saya bukan penikmat buku dan terkadang malas membaca, tapi tergolong mahasiswa yang cukup rajin mengerjakan dan mengumpulkan tugas, meskipun seringkali mendekati deadline. Akhirnya saya pun memutuskan membaca buku ini dan menghayatinya.

Sejujurnya saya lupa dengan judul bukunya. Meskipun begitu, saya tidak akan pernah melupakan apa isinya. Buku ini memuat tentang motivasi dan tips dalam mencapai hidup sukses. Setiap babnya adalah tahapan dalam manajemen hidup untuk mencapai kesuksesan, menurut versi penulisnya. Bab tersebut diantaranya tentang menentukan tujuan jangka panjang, tujuan tahunan, bulanan, mingguan, mencatat dan menuliskan jadwal dan target-target yang ingin dicapai. Saya terhanyut dan mencoba mempraktekkan apa yang dipesankan dalam buku ini. Sejak saat itulah saya terbiasa menuliskan target, agenda, dan impian di dinding kamar serta ide-ide besar dalam sebuah catatan.

Mempraktekkan isi buku

Waktu itu saya berniat ingin ke luar negeri. Dalam tugas bacaan, ada bab yang menyarankan untuk menuliskan mimpi atau cita-cita kita. Saya belum mempraktekkannya dan mencoba untuk menguji secara sederhana statement tersebut. Suatu ketika ketika saya membuka facebook dan secara tidak sengaja menemukan status seorang dosen yang dikomentari oleh seorang pemuda. Pemuda itu sedang mengejar gelar P.hD di luar negeri. Saya iseng bertanya melalui pesan pribadi, “bagaimana cara anda sehingga bisa kuliah di luar negeri?“. Jawabannya sederhana, “tuliskan mimpimu besar-besar di dinding kamarmu!“. Jawabannya seakan membenarkan saran yang diberikan dalam isi buku yang tengah saya baca.

Saya mencoba mempraktekkan penulisan cita-cita itu dengan menyiapkan spidol, double tip, kertas karton, dan menuliskan sebuah kalimat “Kuliah di Luar Negeri” di atas kertas putih itu dengan tinta hitam spidol yang tebal, lalu mempelkanya di belakang pintu kamar yang berhadapan langsung dengan kasur tidur. Sehingga, setiap akan tidur dan terbangun saya melihat tulisan tersebut.

Seiring berjalannya waktu, saya masih tetap berharap ada perubahan dengan menatap setiap hari tulisan di dinding itu sembari membayang kelak akan ke luar negeri. Tiba pada suatu ketika saya bergabung ke dalam sebuah komunitas bernama Lontara Project dan berteman akrab dengan para pendirinya. Terlibat aktif dalam grup musik yang dibentuknya yaitu La Galigo Music Project sebagai pemain musik tradisional khas bugis. Karena mengusung konsep konservasi kreatif nan unik, Lontara Project kerap diundang ke berbagai event. Tahun 2012, Prof. Nurhayati Rahman selaku pemerhati La Galigo yang sedang menetap di Malaysia mengundang Lontara Project untuk presentasi di Universiti Malaya. Tim yang berangkat terdiri dari 4 orang dan saya menjadi salah satu personilnya. Itu pertama kali saya menginjakkan kaki di luar Indonesia.

Setahun setelahnya, masih bersama Lontara Project, saya berkunjung 3 minggu di Belanda dalam rangka mempromosikan upaya konservasi La Galigo dan mengunjungi KITLV dan Perpustakaan universitas Leiden untuk melihat langsung naskah asli La Galigo. Kunjungan ini adalah kedua kalinya ke negeri nan jauh dari tanah air. Pun saat bekerja di Bogor, sejak tahun 2014 hingga 2015 seringkali saya diminta mewakili kantor untuk menghadiri conference maupun pelatihan di Malaysia, Thailand, dan Laos. Rasa-rasanya berkunjung ke luar negeri menjadi sebuah hal yang bukan lagi angan semata, tapi menjadi nyata. Menuliskan mimpi di dinding saat itu adalah sebuah jalan yang efektif untuk tetap kukuh terhadap kemauan yang ingin dicapai.

Banyak Kegagalan

Saya akan berangkat pada 14 Agustus 2017 menggunakan pesawat milik maskapai Kerajaan Belanda yang dipesankan oleh pihak universitas. Hingga pada hari ini saya merefleksikan perjuangan-perjuangan yang telah dilalui hingga mendapatkan beasiswa ini, selangkah lagi akan duduk tegang dalam kelas perkuliahan yang isinya bermacam-macam suku bangsa beda negara dengan bahasa yang bukan bahasa ibu kita.

Banyak kegagalan yang telah saya alami sebelum mendapatkan beasiswa ini. Idealnya, dimana setelah lulus di tahun 2013, seharusnya langsung melanjutkan kuliah di tahun 2014. Namun terkendala karena masalah kemampuan Bahasa Inggris dan biaya tes yang sangat mahal, itupun belum tentu menjamin bisa mencapai skor yang disyaratkan pemberi beasiswa dan universitas. Karena itu, selama 3 bulan pasca kelulusan saya belajar speaking dan mengisolasi diri di Kampung Inggris, Kediri. Di sana, waktu 3 bulan serasa tak cukup. Dengan kesungguhan belajar, setidaknya saya mendapatkan berbagai macam strategi yang bisa dibawa pulang dan dilatih sendiri di rumah.

Saya kemudian bekerja di sebuah NGO di Bogor yang bergerak di isu pangan dan pertanian, yakni Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP). Sebagaimana yang saya citakan untuk bekerja di isu pangan, pertanian, dan lekat dengan interaksi bersama stakeholder food system. Sembari bekerja saya tetap melatih diri dan berupaya untuk dapat melanjtukan studi di tahun berikutnya. Namun saya terhanyut dengan rutinitas pekerjaan yang sangat tidak memungkinkan untuk fokus kepada keduanya, kerja dan belajar mempersiapkan diri. Kerap kali kemudian sadar dan kembali fokus pada pencapaian melanjutkan studi di luar negeri dan belajar kembali, mencoba berbagai kesempatan dan kemungkinan yang ada di depan mata.

Tahun 2015, saya mendaftar pada beasiswa LPDP yang dikelola oleh pemerintah Indonesia. Dengan optimis dapat diterima, hasilnya gagal di tahap wawancara. Berselang kemudian, mencoba lagi dengan beasiswa lainnya, USAID Prestasi. Lolos di tahap administrasi, kemudian masuk ke tahapan wawancara, namun gagal lagi. Padahal yang diwawancarai saat itu adalah 53 orang tersisa, artinya besar peluang menjadi penerima beasiswanya. Namun saya menjadi sebagian orang yang kurang beruntung mendapatkan beasiswa ini.

Tak ingin gagal lagi, di tahun 2016 saya merenung dan mereflekasikan diri atas kegagalan-kegagalan dan ketidakfokusan sebelumnya. Akhirnya saya memberanikan diri berhutang untuk studi IELTS di Kediri selama satu bulan dan membayar biaya tes yang mahal. 3 bulan pasca persiapan, pada Agustus 2016 saya mengikuti tes IELTS pertama kali (dan berharap besar itu juga yang terakhir) dengan perasaan yang deg-degan, tegang, dan bercampur optimis. Saya berusaha menghalau kondisi psikologis yang takut gagal, sebab dana tes itu adalah dana pinjaman yang jika gagal, saya harus bayar dengan kondisi muram. Beberapa minggu berselang, hasil tes keluar dan nilai yang saya dapatkan cukup untuk mendaftarkan diri ke Belanda dan beasiswa. Setidaknya tidak perlu mengulang tes lagi, pulang menanggung hutang dengan senyuman.

Nilai IELTS itu saya gunakan mendaftarkan diri ke Inggris dan mencoba peruntukan beasiswa Chevening dari Kerajaan Inggris. Proses menunggunya cukup lama, seleksinya cukup ketat. Hasilnya? gagal lagi. Bahkan hanya sampai tahap seleksi administrasi.

chevening

Untuk dapat kuliah di luar negeri tahun 2017, pendaftaran beasiswa di akhir tahun 2016 dan awal 2017 ini adalah kesempatan terakhir saya. Beasiswa Netherland Fellowship Program (NFP) dan StuNed adalah harapan terakhir tahun ini. Saya pun mengisi formulir dan merampungkan persyaratan keduanya.

NFP dan Stuned ibarat saudara kandung. Keduanya merupakan beasiswa dari pemerintah belanda. Bedanya pada cakupan negaranya. Seleksi beasiswa NFP dikelola oleh kementerian luar negeri belanda yang menyeleksi peserta dari 51 negara yang dapat menerima beasiswa ini. Sementara Stuned diperuntukkan untuk warga negara Indonesia saja. Beasiswa StuNed lahir dari kerja sama bilateral antara pemerintah Indonesia dan Belanda dalam meningkatkan pembangunan di berbagai isu-isu strategis, termasuk di bidang pangan dan pertanian. Bidang itulah yang membuat saya cukup optimis karena menjadi isu yang saya bawa untuk mendaftarkan diri sebagai penerima beasiswa NFP dan StuNed.

Dengan proses pendaftaran yang cukup panjang, saya pun menunggu hasil dengan perasaan yang tidak santai. Akhir tahun 2016 hingga awal tahun 2017 bagi saya adalah bulan-bulan yang menegangkan. Celakanya, tepat pada tanggal 1 Juni 2017 saya mendapatkan email dari NFP menyatakan bahwa Your registration is not eligible for an NFP fellowship. Saat itu saya merasa sangat patah hati, merasa gagal. Tidak ingin hanyut dalam kesedihan, saya pun mencoba bangkit dan berdoa, memasrahkan diri kepada yang Maha Kuasa, menerima kenyataan dan mencoba move on.

Semalaman pasca dikeluarkannya pengumuman NFP, saya terjaga, mata terpejam namun pikiran kemana-mana, gelisah dan penasaran menunggu-nunggu pengumuman StuNed yang tak kunjung datang. Terlelap sebentar dan terbangun tengah malam. Saya shalat tahajjud untuk menenangkan diri dan berdoa diberi yang terbaik. pagi harinya, orang pertama yang saya telepon adalah Mama, mengabarkan perihal kegagalan ini, meminta didoakan yang terbaik. Beliau tidak berkomentar banyak, dan cukup memotivasi.

Pagi menjelang siang tanggal 2 Juni 2017 saya ke kantor dengan kondisi sedih yang ditutup-tutupi, banyak diam, dan masih belum move on dengan kabar kegagalan NFP. Sekitar pukul 13.00 setelah pulang dari shalat Jumat, saya langsung duduk di kursi pojok meja untuk bersiap membuka laptop dan melanjutkan pekerjaan. Dengan jemari lemas, membuka email melalui handphone, tetiba muncul sebuah email baru dari StuNed, saya diterima menjadi penerima beasiswa StuNed 2017.

Stuned announcement

Setelah membacanya, saya langsung mencari ruang sunyi di kantor dan sujud syukur atas rejeki ini. Sepintas merasa, Jumat berkah itu nyata adanya. Akhirnya puncak penantian itu datang di hari Jumat pada bulan Juni. Seperti sajak-sajak Sapardi Joko Damono yang indah Hujan di Bulan Juni, bagian hidup saya yang indah juga Terik Panas Habis Jumatan di Bulan Juni.

Niat itu Ada

Dari serentetan cerita yang mungkin membosankan ini, masih banyak hal detail yang tidak tersampaikan. Merefleksi perjuangan mengejar keinginan untuk menjajaki dunia baru ini, banyak hal yang bisa dipetik, adalah niat itu ada. Beberapa teman dari teman, bahkan teman dari temannya teman saya banyak mencoba dan mempersiapkan diri untuk menjajaki pembelajaran di luar negeri, namun ketika ditanya kemauan, romannya tidak menunjukkan ada niat yang begitu kuat. Niat yang dapat dilihat dalam diri seseorang menurut saya ketika upaya konsisten dan kesungguhan telah dilakukan, tak kenal menyerah, dan tekun. Sehingga, niat bukan semata-mata kemauan.

Kuliah di luar negeri sudah saya targetkan sejak kuliah di akhir tahun 2009, baru dapat terwujud dengan menerima beasiswa di tahun 2017, dan semoga lancar hingga berangkat di bulan September. Butuh 3 tahun usaha mewujudkannya pasca lulus sarjana, dan butuh 7 tahun menuju pencapaian tersebut ketika mengingat pertama kali saya memajang tulisan di pintu kamar saya “Kuliah di luar negeri“. Adakalanya menunggu begitu lama. Pencapaian setiap orang berbeda, ada yang lebih cepat dan lebih lama, tergantung berbagai faktor. Pada akhirnya, niat dan kesungguhanlah yang membawa sesorang pada sebuah pencapaian.

Tahap selanjutnya makin berat. Penyesuaian diri dengan pendidikan ala Belanda yang terkenal tidak mudah dan sangat disiplin. Kondisi iklim yang berbeda dengan Indonesia, dan di benua yang berbeda, sangat jauh dari kampung halaman. Saya berharap dengan kesempatan ini saya dapat menjadi individu yang lebih bermutu dan bermanfaat bagi sesama.

 

Bogor, 12 Juli 2017

Leave a comment